Senin, 27 Februari 2017

Qasim Amin, Tokoh Kebebasan Wanita. Benarkah?



QASIM AMIN
Penyeru Kebebasan Wanita

Biografi singkat Qasim Amin

Nama lengkapnya adalah Qasim Amin Bey, ia dilahirkan di kota Iskandariyah (Mesir) pada awal bulan Desember 1863. Ayahnya bernama Muhamad Beek Amin, berasal dari Turki (suku Kurdi) sedangkan ibunya berdarah asli Mesir. Sejak kecil Qasim Amin  memiliki bakat kecerdasan yang nampak dari prestasi pendidikannya.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria (Iskandariyah), keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia meraih gelar licance dari Fakultas Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi tinggi di Mesir. Pada waktu itu, Qasim Amin masih berumur 20 tahun, usia yang relatif masih sangat muda. Padahal di Mesir ketika itu tidak jarang ditemui para pemuda yang baru lulus dari Sekolah Dasar pada usia 25 tahun. Pada masa kuliahnya ia mulai kenal dengan sosok Jamaluddin Al-Afghani dan pemikiran-pemikirannya yang memang sedang berkembang di Mesir pada saat itu.
Dengan bekal gelar licance-nya ia bekerja sebagai pengacara pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, seorang pengacara besar pada saat itu yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim berkesempatan untuk melanjutkan studi di Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. Pada masa yang bersamaan, Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir dan kemudian keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim kembali menjalin hubungan erat dengan Al-Afghani dan juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad Abduh.
Selayaknya orang asing di kota Paris, ia berusaha untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. Namun karena memiliki kepribadian yang mencirikan kepribadian bangsa Timur yaitu pemalu dan tertutup, serta adanya perbedaan yang sangat jauh antara budaya Perancis dan Mesir, maka ia tidak bisa bergaul dan berinter-aksi dengan bebas dan leluasa. Namun sebagaimana lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di Barat, Qasim Amien juga memiliki teman perempuan yang istimewa di kampusnya. Dari kebersamaannya yang intim dengan gadis Perancis tadi, mulailah tumbuh ide-ide emansipasi wanita yang ingin diperjuangkannya di Mesir. Ia melihat para wanita di Barat demikian bebas menikmati semua hak-haknya dan sangat mandiri, baik secara sosial maupun ekonomi. Jika seorang gadis telah menginjak usia 17 tahun maka ia bebas sepenuhnya untuk mengatur dirinya.
Sekembalinya dari Paris pada tahun 1885, ia diangkat menjadi hakim. Kariernya
sebagai seorang hakim semakin meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat men-jadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir.
Tahun 1894, Qasim menikah dengan seorang gadis pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amien Taufiq. Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis, karya pertamanya ialah “Al-Mishriyyûn” (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis. Buku ini merupakan counter terhadap tulisan seorang pemikir Perancis, Duc D’harcouri, yang mengecam realitas sosio-kultural masyarakat Mesir.

Karya-karyanya

Di samping berprofesi sebagai pengacara Qasim Amin juga menulis beberapa buku yaitu:
1.      Al-Mishriyyûn (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis.
2.      Tahrirul Mar'ah (Pembebasan Wanita), diterbitkan pada tahun 1899 M dengan dukungan dari Syeikh Muhammad Abduh, Sa'ad Zaqhlul dan Ahmad Luthfi As-Sayyid. Dia menyebutkan dalam buku tersebut bahwa hijab wanita yang tersebar di Mesir pada masa itu bukanlah berasal dari ajaran Islam, akan tetapi tradisi yang diwarisi oleh orang-orang Mesir secara turun  menurun yang kemudian dinisbatkan kepada agama, padahal agama sama sekali tidak pernah memerintahkan hal itu. Ia menegaskan bahwa seruan untuk melepas hijab tidaklah berarti mengingkari perin-tah agama. Kerajaan Inggris menyambut baik terbitnya buku ini dan menerjemah-kannya kedalam bahasa Inggris serta menyebarkannya di India serta daerah-daerah Islam yang berada di bawah jajahan Inggris.
3.      al-Mar'ah al-Jadidah (Wanita Baru), terbit pada tahun 1900 M. Buku ini mengan-dung pemikiran yang sama dengan buku pertamanya, hanya saja dalam bukunya yang kedua ini ia banyak menukil perkataan para pemikir Barat untuk menguatkan argumentasinya.

Pandangan Qasim Amin Tentang Wanita 

Qasim Amin memandang kemunduran umat Islam terletak pada lemahnya pember-dayaan kaum perempuan. Dalam Islam seakan-akan ada diskriminasi antara kaum laki-laki dan kaum perempuan sehingga derajat kaum laki-laki cenderung berada di atas derajat kaum perempuan. Menurut Qasim, pendapat itu tidaklah benar, karena kaum perempuan-lah yang berperan penting dalam kehidupan dan mereka patut untuk diber-dayakan, paling tidak disejajarkan dengan kaum laki-laki. [1]
Jalan menuju kebangkitan menurutnya adalah dengan ilmu pengetahuan, oleh kare-na itu Eropa terus bergerak maju menuju masyarakat yang sempurna. Bagi Qasim Amin, Eropa adalah idola dalam semua hal. Qasim Amin menulis, “Jika ada orang yang berkata bahwa Eropa maju secara material sedangkan kita secara moral lebih baik, pernyataan ini sama sekali tidak benar. Secara moral orang-orang Eropa lebih maju dan dalam semua aspek kehidupannya lebih unggul, termasuk di dalamnya tentang kebebasan wanitanya.”
Pokok-pokok pikiran tersebut telah memberikan inspirasi pada Qasim Amin, sehing-ga pada tahun 1899 ia menulis buku terkenal yang diberi judul ”Tahrir al Mar’ah“ atau “Pembebasan Wanita”. Ada sedikit perbedaan pandangan antara Qasim Amin dengan gurunya (Muhammad Abduh) mengenai penyebab kemajuan kaum wanita. Qasim Amin mengidolakan kehidupan Eropa dalam segala hal, termasuk kebebasan kaum wanitanya harus ditiru kalau kita ingin maju. Sedangkan Muhammad Abduh meman-dang bahwa wanita Islam sebenarnya memiliki kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam-lah yang mengubah hal itu, sehingga akhirnya wanita Islam mempunyai kedudukan yang rendah dalam masyarakat.
Adapun pandangan Qasim Amin mengenai peran wanita, ia berpendapat bahwa umat Islam mundur karena kaum wanitanya yang merupakan setengah dari penduduk-nya tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah. Padahal dalam Islam tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan ilmu pengetahuan. Dari sini Qasim Amin melihat pentingnya kaum wanita belajar di sekolah-sekolah sampai jenjang perguruan tinggi dan menangani urusan-urusan sosial-ekonomi sebagaimana kaum laki-laki. Qasim Amin juga menentang pilihan sepihak dalam soal rumah tangga seperti dalam hal poligami dan perceraian. Menurut pendapatnya wanita harus diberi hak yang sama dengan pria dalam hal memilih pasangan hidupnya. Sesungguhnya al-Qur’an, pada hakekatnya mengajarkan monogami. Menurutnya, sistem perkawinan pada saat ini yang bagi pria dapat memiliki wanita dengan pilihan sepihak dan hanya dihadiri oleh dua orang saksi saja adalah pendapat yang keliru dan merendahkan kedudukan wanita. Begitupun poligami, ia adalah wujud penghinaan terhadap wanita, karena tidak ada wanita yang ingin dimadu, sebagaimananya tidak adanya laki-laki senang bila istrinya diganggu. Hal ini merupakan tabiat bagi pria dan wanita. Firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nisa’: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. an-Nisaa'; 129), sebenarnya menunjukkan adanya larangan berpoligami, karena tidak ada kemungkinan bagi pria untuk bisa berlaku adil, meskipun dilakukan dengan susah payah. Oleh karena itu, poligami bisa dilakukan apabila ada persetujuan dari pihak istri. Tanpa alasan ini tidak dibenarkan secara mutlak.
Disisi lain talak (perceraian) adalah suatu yang dihalalkan, tetapi sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu Qasim Amin mensyaratkan hendaknya prosedur tentang talak dipersulit agar si suami tidak sekehendak hatinya menjatuhkan talak, serta  menganjur-kan agar adanya saksi dapat dijadikan sebagai rukun talak.
Ide Qasim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya adalah bahwa hijab bagi muslimah dan pemisahan antara wanita dan pria dalam pergaulan bukan dari ajaran Islam. Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadist yang mengajarkan demikian. Menurutnya, berhijab bagi wanita dan pemisahan membaur telah membawa wanita kepada kedudukan yang rendah dan menghambat pengembangan potensi mereka. Demikianlah beberapa pemikiran Qasim Amin yang cukup nyeleneh. [2]
Dari berbagai pihak datang kritik dan protes terhadap ide-ide yang dikemukakan oleh Qasim Amin. Demikian dahsyatnya reaksi dari masyarakat Mesir ketika itu hingga Qasim pun merasa pesimis bahwa idenya akan dapat diterima. Ia pun mengurung diri selama berhari-hari di rumahnya dan bertekad untuk tidak membahas lagi tema ini. Akan tetapi Sa'ad Zaghlul, salah seorang petinggi Mesir ketika itu, memberikan support-nya kepada Qasim Amin seraya berkata, "Teruslah engkau melaju, aku akan senantiasa berdiri di sampingmu." Dukungan ini mengembalikan lagi rasa percaya diri Qasim dan tak lama setelah itu ia pun menuliskan kembali ide-idenya yang kemudian muncul menjadi al-Mar’ah al-Jadidah atau Wanita Modern, terbit pada tahun 1901 isinya menyerang hijab dan gambaran tentang potret kehidupan rumah tangga muslim pada masa kegelapan. Qasim Amin menulis :
“Lelaki adalah penguasa mutlak, sedangkan wanita jadi budak. Ia adalah obyek kepuasan hawa nafsu, barang mainan yang dipakai kapan saja menurut kemauannya. Ilmu untuk pria, wanita tak berhak apapun. Cakrawala dan caha-ya untuk lelaki, kegelapan dan kamar terkunci untuk wanita. Lelaki adalah komandan, sedangkan wanita harus tunduk tanpa syarat. Lelaki memiliki segalanya, sementara wanita menjadi barang yang tidak berarti.“
Qasim Amin juga menerangkan bahwa pembaruan rumah tangga muslim haruslah meniru gaya Barat, karena ini adalah solusi untuk mengentaskan problem sosial di Dunia Islam. Qasim Amin menulis:
“Lihatlah negara-negara Timur, engkau akan menemukan wanita-wanita di sana menjadi budak lelaki, lelaki adalah penguasa, lelaki adalah penindas di rumahnya, wanita dibelenggu bila tinggal di luar rumah. Kemudian lihatlah negara-negara Barat, pemerintahan berjalan di atas dasar kebebasan dan meng-hormati hak-hak individu serta status wanita dijunjung tinggi dan mendapat-kan kebebasan berfikir dan bergerak”
Pada intinya dalam buku tersebut, Qasim Amin  mempertahankan ide-idenya serta memperjuangkan kebebasan wanita agar bergaya hidup sebagaimana wanita-wanita di Barat yang telah memperoleh kebebasan dan hak-haknya secara penuh.[3]

Keterkaitan Qasim Amin dengan madrasah ishlahiyyah (gerakan reformasi)

Pada masa dunia Islam sedang dijajah oleh negara-negara Barat, muncullah Syaikh Muhammad Abduh di Mesir dengan gerakannya yang dikenal dengan sebutan ishlahiyyah (reformasi). Beliau melontarkan beberapa ijtihad pembaruan dan perbaikan. Di antara permasalahan yang diangkat oleh Muhammad Abduh adalah: pembahasan  seputar nasionalisme, kebebasan dan seruan untuk meninjau ulang kondisi kaum wanita secara sosial. Juga meninjau ulang tentang hijab dan poligami serta pembatasan kebebasan menjatuhkan talak.
Di antara murid-murid Syaikh Muhammad Abduh adalah Qasim Amin. Sebenarnya beberapa hal yang dibahas oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrirul Mar'ah telah disuarakan sebelumnya oleh Muhammad Abduh. Oleh karena itu, Muhammad Imaroh berkata, "Sebagian peneliti berpendapat bahwa Syaikh Muhammad Abduh berada di belakang Qasim Amin dalam bukunya Tahrirul Mar'ah. Sebenarnya buku tersebut merupakan karya bersama antara Syaikh Muhammad Abduh dan Qasim Amin. [4]


Kritik atas pemikiran Qasim Amin

Sebelum kepergiannya ke Perancis, Qasim Amin telah membaca sebuah tulisan seorang orientalis Barat yang menghujat Islam dan mengklaim bahwa agama ini telah meremehkan kaum wanitanya dan tidak mengakui eksistensi mereka sebagai manusia. Ketika membaca tulisan itu, darahnya mendidih –sebagaimana yang ia tulis di buku hariannya- dan ia pun bertekad untuk meng-counter sang orientalis tersebut serta membantah tuduhan-tuduhan miringnya terhadap Islam.[5]
Akan tetapi, setelah mengenyam pendidikan selama empat tahun di Perancis, ia pulang dengan membawa pemikiran yang sangat berbeda dengan apa yang ia anut sebelumnya. Perantauannya selama di Perancis pada usia yang sangat relatif muda –yakni 20 tahun- telah meninggalkan bekas yang sangat mendalam pada kepribadiannya. Kini ia kembali ke Mesir dengan membawa gagasan dan pemikiran baru. Ia kembali dengan menyerukan kebebasan wanita dan emansipasi sebagaimana yang diinginkan oleh para orientalis.
Ia menulis dalam buku hariannya bahwa di Perancis ia bertemu dengan seorang gadis Perancis yang kemudian menjadi kawan akrabnya. Antara dia dan gadis itu terjalin hubungan emosional yang kuat dan intim, akan tetapi bersih. Gadis itulah yang menemani Qasim mengunjungi rumah-rumah keluarga Perancis, tempat-tempat perte-muan dan klub-klub mereka. Dengan pendampingan wanita itu, Qasim mendapatkan sambutan hangat di setiap tempat yang dikunjunginya.[6]
Terlepas apakah Qasim yang menemui wanita itu ataukah ia sengaja dipasang untuk menjadi partner Qasim, yang jelas wanita itu telah mempengaruhi akal dan hati Qasim. Bahkan hingga merubah jalan hidupnya dan membuatnya layak untuk memainkan peran yang diinginkan oleh konferensi-konferensi para missionaris yang bermaksud menghancurkan Islam.
Sangat boleh jadi bahwa hubungan antara Qasim dengan gadis Perancis itu memang benar-benar bersih. Tentu saja bersih bukan menurut sudut pandang Islami, akan tetapi bersih dalam artian tidak sampai terjerumus dalam suatu perbuatan mesum. Hal ini sangat mungkin dan logis sekali sebab wanita yang tetap menjaga harga dirinya akan lebih mampu mempengaruhi jalan pikiran Qasim. Sebaliknya, jika gadis itu sampai menjual murah kehormatannya tentu wibawanya akan jatuh di mata Qasim sehingga tidak akan mampu lagi memberikan pengaruh terhadapnya.
Ketika menginjakkan kakinya di bumi Perancis, Qasim merasa negerinya sangat tertinggal jika dibandingkan dengan Perancis. Apalagi ketika itu Mesir masih berada di bawah jajahan Inggris. Belum merdeka dan masih terpuruk kondisinya. Sementara ia banyak mendengar dari kaumnya bahwa Eropa adalah kawasan yang sangat makmur, maju dan modern. Wajar sekali jika ia melihat Perancis dan peradabannya dengan pandangan yang penuh dengan kekaguman dan takjub. Sebagai orang Timur dan penda-tang baru Qasim merasakan adanya gap psikologis antara dirinya dengan masyarakat Perancis. Ditambah lagi dengan tabiat orang Timur yang pemalu dan tertutup. Di negeri yang baru ini Qasim seolah-olah terkucil dan dianggap kerdil oleh masyarakat Barat yang modern itu.
Dalam kondisi yang seperti ini datanglah gadis Perancis tersebut untuk menghilang-kan keterasingannya, mengusir kesepiannya dan menuntunnya untuk berinteraksi lebih luas dengan masyarakat Perancis. Kini ia mulai berkenalan dengan keluarga-keluarga Perancis yang menyambutnya dengan hangat, mendatangi klub-klub pertemuan mereka dan benar-benar berbaur dengan mereka. Di sini hilanglah gap psikologis antara dirinya dan masyarakat luar. Kini ia melaju di tengah-tengah masyarakat baru itu dengan penuh rasa percaya diri dan dengan langkah-langkah yang mantap.
Kepribadiannya yang tadinya tertutup dan pemalu kini telah berubah secara berang-sur-angsur. Pemuda Mesir yang tadinya terkucil di masyarakat yang baru itu kini telah berkembang secara kejiwaan dan wawasannya. Kini ia mulai merubah pandangannya yang negatif dan "salah" tentang tradisi Barat yang dikenalnya selama ini. Ternyata tradisi Barat yang dulu banyak dikecamnya itu kini telah memberikan nilai positif pada dirinya.
Melalui hubungan baiknya dengan gadis yang ramah tersebut kini jiwanya telah berkembang dengan pesat, keluar dari keterkucilannya. Ia tak lagi bagaikan katak dalam tempurung. Jiwanya telah memperoleh pencerahan, semangat baru, diiringi dengan tsaqofah-nya yang makin meluas dan gairahnya yang semakin enerjik.
Jika demikian halnya, lalu apa kesalahan tradisi ini? Tradisi yang banyak memberi-kan nilai positif dalam kehidupan. Apa salahnya jika masyarakat Mesir yang mayoritas muslim itu mengikuti tradisi Barat? Bukankah ini berarti suatu kemajuan?
Secara sekilas logika tadi tampaknya benar. Akan tetapi sebenarnya ada beberapa kerancuan nyata pada logika tersebut.
Pertama: Qasim Amin mengklaim bahwa hubungannya dengan wanita Perancis itu adalah hubungan yang bersih, dalam arti tidak sampai menjurus kepada perbuatan keji (fahisyah). Kendatipun kita membenarkan pernyataannya, akan tetapi hubungan tersebut tidaklah bersih menurut timbangan Islam. Padahal setiap muslim dituntut untuk menimbang seluruh urusannya dengan timbangan Islam tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan Qasim Amin dengan wanita itu mengandung unsur kholwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahrom) yang hal ini diharamkan dalam Islam, baik ia menjurus pada perbuatan keji atau tidak.
Kholwat tersebut diharamkan dalam agama Allah karena suatu hikmah yang jelas yaitu ia akan mengantarkan pelakunya kepada perbuatan keji, meskipun pada awalnya tidak sampai ke sana. Sejarah umat manusia telah membuktikan bahwa tidaklah kholwat ini dibolehkan pada suatu bangsa melainkan pada akhirnya akan mengantarkan bangsa tersebut pada perbuatan keji. Tidak ada satu bangsa pun yang dikecualikan dalam hal ini.
Jika kita mengamati data-data yang diungkap oleh berbagai penelitian tentang penyimpangan-penyimpangan seksual yang terjadi di negara-negara maju kita akan terperanjat dengan tingginya angka-angka kejahatan seksual tersebut. Berbagai macam kejahatan dan penyimpangan seksual tersebut tidak lain adalah dampak negatif dari dibolehkannya kholwat.
Kedua, Qasim Amin berusaha menutupi atau berpura-pura tidak tahu tentang realitas yang terjadi di masyarakat Perancis sebagai dampak dari hubungan bebas antara pria dan wanita. Padahal ia pasti tahu persis bahwa masyarakat di sana sedang dilanda krisis moral. Kalaulah kita membenarkan bahwa hubungan antara Qasim Amin dengan gadis Perancis itu bersih, akan tetapi berapa banyak hubungan tidak bersih yang terjadi antara pemuda dan pemudinya? Hal ini bukanlah rahasia lagi bagi siapa saja yang tinggal di masyarakat tersebut, baik ia warga negara asli ataupun pendatang. Dengan demikian Qasim menampakkan salah satu sisi keunggulan masyarakat Barat akan tetapi menyembunyikan sisi-sisi kebobrokan moral mereka.
Ketiga: Yang diinginkan oleh Qasim Amin adalah agar wanita-wanita muslimah Mesir mengikuti jejak wanita-wanita Barat dalam segala hal. Menurutnya, tidak ada jalan bagi kaum muslimah Mesir yang ingin maju kecuali dengan meniti jalan yang pernah ditempuh oleh para wanita di Barat. Qasim Amin berkata, "Kita tidak melihat adanya suatu penghalang untuk menempuh jalan yang pernah ditempuh sebelumnya oleh bangsa-bangsa Barat karena kita semua menyaksikan bahwa mereka maju dalam peradabannya, hari demi hari."
Ia juga berkata, "Kesimpulannya, kita tidak segan-segan untuk mengatakan tentang wajibnya memberikan kebebasan berpikir dan bekerja bagi wanita-wanita kita –setelah mencerdaskan akal-akal mereka dengan pendidikan- meskipun tidak bisa dihindari bahwa mereka mesti melewati semua tahapan-tahapan yang pernah dilewati dan sedang dilewati oleh para wanita di Barat." [7]
Ini artinya Qasim Amin menyerukan bagi wanita-wanita muslimah yang ingin maju agar bertaqlid kepada wanita-wanita Barat meskipun resikonya harus melewati semua tahapan-tahapan yang pernah dilewati dan sedang dilewati oleh para wanita di Barat. Di antara tahapan-tahapan itu tentunya adalah membaurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki di semua lapangan pekerjaan dan dibolehkannya pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi.

Hak pendidikan bagi kaum wanita

Di antara jargon (slogan) yang paling sering diangkat oleh Qasim Amin dalam tulisan-tulisannya ialah perlunya memberikan hak pendidikan bagi kaum wanita. Mereka harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Jargon ini tentu sangat menjual dan menarik sekali. Terlebih lagi kondisi pendidikan wanita muslimah di Mesir ketika itu memang tidak baik. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi pendidikan wanita di Mesir ketika itu -dan juga di seluruh dunia Islam- sangat tidak baik. Tetapi ini sebenarnya adalah ekses dari pemahaman umat Islam yang keliru tentang Islam. Oleh karena itu, untuk membenahi permasalahan ini haruslah dari pangkal penyebabnya yaitu mengembalikan umat Islam kepada pemahaman Islam yang shahih.
Tentang pendidikan bagi wanita, sebenarnya Islam mengakui hak ini dan tidak pernah mencegah kaum muslimah untuk mendapatkan haknya ini. Bahkan Islam memotivasi semua umatnya –baik laki-laki maupun wanita- untuk menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pernah mengkhususkan satu hari untuk memberikan pengajaran bagi kaum wanita.
Namun yang sangat disayangkan adalah, tidak sedikit para tokoh anti pembaratan di Mesir ketika itu yang menyanggah Qasim Amin dengan mengatakan bahwa wanita tidak layak untuk sekolah sampai perguruan tinggi karena hal itu akan menunda usia pernikahan mereka sampai beberapa tahun. Kemudian, kalaupun mereka menikah di saat kuliah maka itu akan mengakibatkan urusan rumah tangga dan anak-anak mereka terlantar dan kurang perhatian –padahal itu adalah tugas utama seorang wanita-.
Kalau kita cermati, mereka yang berjuang di kubu anti pembaratan itu berdalih dengan alasan agama. Muhammad Quthb pernah menganalisa hal ini yang intinya, seandainya masyarakat Mesir ketika itu disinari oleh pemahaman Islam yang benar maka tidak mungkin seruan Qasim Amin itu akan mendapatkan tempat, dan tidak mungkin serangan pemikiran (ghazwul fikri) –betapapun derasnya- akan bisa menggoyang sendi-sendi kehidupan masyarakat muslim.
Akan tetapi yang terjadi di Mesir ketika itu adalah keterpurukan aqidah yang di antara eksesnya adalah pengabaian hak-hak kaum wanita. Pemahaman Islam yang benar tidak mewarnai masyarakat. Yang mewarnai mereka adalah tradisi yang diberi shibghoh (warna) agama. Di tengah-tengah kebodohan umat inilah seruan Qasim Amin dan para pendukungnya digaungkan. Mereka memanfaatkan dengan baik kondisi para wanita yang memang kurang diperhatikan ketika itu. Maka tidak dapat dielakkan, masyarakat yang dikendalikan oleh tradisi tidak akan mampu membendung gempuran ghazwul fikri yang demikian deras itu.
Sikap yang diajarkan oleh Islam adalah, kaum wanita harus dipenuhi hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi mereka, akan tetapi tanpa harus menanggalkan hijabnya atau berbaur dengan lelaki. Adalah suatu fardhu kifayah bagi umat Islam untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang khusus bagi mereka. Dengan demikian mereka mendapatkan hak-haknya secara penuh tanpah harus melewati tahapan yang berupa kerusakan akhlak.




Tidak ada satupun nash tentang hijab?

Dalam bukunya, Tahrirul Mar'ah, Qasim Amin menulis, "Seandainya dalam syari'at Islam ada nash-nash yang mewajibkan hijab sebagaimana yang dikenal sekarang ini, tentulah wajib bagi saya untuk tidak membahas lagi tentang hal ini, dan tentulah saya tidak akan menulis satu huruf pun yang menyelisihi nash-nash tersebut, meskipun nampak jelas kemudharatannya. Hal ini karena perintah-perintah Ilahi wajib dijunjung tinggi dan dipatuhi tanpa perlu dibahas atau didiskusikan lagi. Akan tetapi kita tidak mendapati satu pun nash dalam syari'at yang mewajibkan bagi wanita untuk berhijab sebagaimana yang dikenal pada zaman sekarang ini. Ia hanyalah tradisi yang didapat oleh kaum muslimin dari hasil interaksi mereka dengan bangsa-bangsa lain lalu mereka anggap baik dan mereka ambil. Kemudian, mereka berlebih-lebihan dalam hal ini dan mengemasnya kemasan agama, sebagaimana tradisi-tradisi usang lainnya yang telah berakar di masyarakat. Mereka menisbatkan tradisi-tradisi tersebut kepada agama padahal agama berlepas diri darinya. Yang termaktub dalam al-Qur'an yang mulia ialah firman Allah:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pan-dangannya, dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat'.Dan kata-kanlah kepada wanita-wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandang-annya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. an-Nuur: 30-31). Demikianlah yang ditulis oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrirul Mar'ah. [8]
Apakah benar di dalam syari'at Islam tidak terdapat satupun nash tentang perintah berhijab bagi wanita-wanita muslimah? Kalau kita hendak meneliti kitab suci al-Qur'an dengan seksama maka akan kita dapati di dalamnya beberapa ayat-ayat yang mulia yang berbicara tentang hijab. Seperti dalam surat al-Ahzab ayat: 59.

"Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (QS. al-Ahzab: 59).

Juga firman-Nya dalam surat yang sama:
'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kalian diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kalian diundang maka masuklah dan bila selesai makan maka keluarlah tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu mengganggu Nabi akan tetapi beliau malu kepada kalian (untuk menyuruh kalian keluar), sedangkan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.Dan apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka." (QS. al-Ahzab: 53).

Juga firman-Nya dalam surat yang sama:
"Dan hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya." (QS. al-Ahzab: 33).
Termasuk nash yang mewajibkan berhijab bagi wanita muslimah adalah ayat yang memberikan rukhshah (keringanan) bagi wanita-wanita yang telah menopause (terhenti dari haid karena usia tuanya) untuk menanggalkan hijabnya selama tidak bermasksud untuk tabarruj (menampakkan perhiasan tubuhnya). Allah berfirman:
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada berharap untuk menikah lagi, tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasannya. Dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana. " (QS. an-Nuur: 60).
Di dalam terjemah al-Qur'an yang diterbitkan oleh Departemen Agama diberikan catatan kaki bahwa yang dimaksud dengan menanggalkan pakaian dalam ayat di atas adalah pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.
Jika rukhshah tersebut berlaku untuk wanita-wanita yang telah mencapai usia lanjut, maka untuk wanita-wanita yang belum mencapai usia tersebut tetap berlaku kewajiban mengenakan hijab.
Itulah beberapa nash-nash suci yang terdapat di dalam al-Qur'an yang mulia tentang keharusan berhijab bagi wanita-wanita muslimah. Adapun nash-nash hadits tentang hal ini jauh lebih banyak lagi, akan tetapi sengaja tidak saya kutipkan di sini agar tidak mempertebal risalah ini.

Larangan berbaur antara kaum laki-laki dan wanita (ikhtilath)

Qasim Amin berpendat bahwa pemisahan antara wanita dan pria bukanlah termasuk salah satu prinsip Islam. Ia juga menyerukan kebebasan wanita untuk berkiprah di tengah-tengah masyarakat  dan mengambil peranan dalam semua bidang kehidupan.
Pada malam menjelang wafatnya, Qasim menerima kunjungan para mahasiswa dan mahasiswi Rumania yang sedang melakukan kunjungan persahabatan ke Mesir. Qasim menyampaikan ucapan sambutan kepada mereka dengan bahasa Perancis, "Saya mengucapkan selamat kepada rombongan wisata ilmiah ini dan saya berterima kasih atas kunjungan mereka ke Mesir. Secara khusus saya ucapkan selamat kepada para mahasiswi yang telah bersusah payah menempuh perjalanan yang jauh dari Barat ke Timur, mengatasi semua rintangan dalam perjalanan, dalam rangka menambah ilmu dan wawasan. Saya memberikan penghormatan kepada mereka secara khusus sementara hati saya dipenuhi dengan rasa gembira ketika melihat peran mereka tidak kalah dari peran para rekan-rekan mereka para mahasiswa. Saya mengucapkan selamat kepada mereka (para mahasiswi) sementara dalam diri saya ada kerinduan yang kuat untuk pada suatu hari saya melihat para gadis muslimah Mesir memperoleh nasib yang sama dengan para mahasiswi yang telah melancong dari tempat yang jauh ini. Yaitu suatu hari di mana para muslimah terlihat  duduk berdampingan dengan para pemuda Mesir dalam suatu pertemuan ilmiah seperti sekarang ini." [9]
Kita tidaklah mengingkari hak-hak para wanita untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan. Bahkan kita sangat mendukung hal itu. Akan tetapi kenapa mesti duduk berdampingan dengan para pemuda? Apakah tidak ada solusi lain selain itu? Apakah kita harus meniru model pendidikan yang ada di Eropa secara huruf per huruf ?
Islam sebagai agama yang paripurna dan sistem hidup yang syamil telah memiliki konsep yang sempurna dan jauh lebih hebat daripada konsep Barat. Akan tetapi kehebatan konsep Islam itu tidak terlihat secara realitas pada zaman ini karena memang ia belum diterapkan. Salah satu cara yang ditempuh oleh syaria'at Islam untuk memelihara masyarakat dari kerusakan akhlak adalah dengan membuat batas (jarak) antara kaum laki-laki dengan wanita. Allah yang telah menciptakan manusia Dia lebih tahu tentang aturan apa yang akan membawa kemaslahatan bagi para hamba-Nya.
Sebagai suatu tindakan preventif (saddu adz-dzaraai'), syari'at melarang pembauran antara laki-laki dan wanita. Karena hal ini akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang besar.
Kita dapati dalam petunjuk sunnah Nabi shallallohu alaihi wasallam  yang mulia bahwa pemisahan itu hendaknya dilakukan meskipun antara dua saudara kandung kakak beradik. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam  bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
"Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka sudah berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkannya setelah mereka berumur sepuluh tahun serta pisahkanlah tempat tidur antara mereka." (HR. Abu Dawud).
Juga pemisahan itu dilakukan di tempat yang suci, di rumah-rumah Allah, di saat melaksanakan ibadah yang agung. Dalam hal ini Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
"Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan seburuk-buruk shaf mereka adalah yang paling belakang, sedangkan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan seburuk-buruk shaf mereka adalah yang paling depan." (HR. Muslim, Tirmidzi dan Nasa'i).
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga mengkhususkan sebuah pintu di masjid untuk para wanita.
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( لَوْ تَرَكْنَا هَذَا الْبَابَ لِلنِّسَاءِ )) قَالَ نَافِعٌ: فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ ابْنُ عُمَرَ حَتَّى مَاتَ.
Dari Nafi’, dari ‘Abdulloh bin ‘Umar rd  ia berkata: Rosululloh shallallohu alaihi wasallam  pernah bersabda:
“Kalau saja kita jadikan pintu ini khusus untuk kaum wanita”. Nafi’ berkata: ‘Sejak saat itu Ibnu ‘Umar tidak lagi masuk lewat pintu itu hingga beliau wafat’.” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan).
Demikian Islam memang mengajarkan pemisahan antara kaum laki-laki dan wanita dalam rangka menghindari timbulnya pergaulan bebas dan perbuatan asusila. Tetapi hal ini sama sekali bukan bermaksud untuk merendahkan kaum wanita atau mengucilkan mereka dari pergaulan bermasyarakat.

Nuansa Ghazwul Fikri dalam buku Tahrirul Mar'ah

Ketika buku Tahrirul Mar'ah diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1899, Pemerintah Inggris –yang ketika itu sedang menjajah Mesir- sangat menyambut baik atas terbitnya buku ini dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris serta mendistribusikannya di India dan semua wilayah negeri-negeri Islam yang berada di bawah jajahan Inggris. [10]
Kalau kita mau berpikir sedikit kritis tentu kita akan bertanya-tanya, mungkinkah Inggris yang ketika itu sedang menjajah Mesir dan negeri-negeri Islam lainnya bermaksud baik kepada umat Islam dengan mendistribusikan buku itu? Mungkinkah musuh menghendaki kemajuan dan kekuatan bagi kita?
Peristiwa ini mengingatkan kita akan suatu fenomena di negeri kita sendiri ketika sedang ramai-ramainya terjadi polemik seputar RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Waktu itu KH. Hasyim Muzadi sebagai ketua umum PBNU memberikan dukungannya terhadap RUU tersebut. Sehari setelah beliau menyatakan dukungan-nya tujuh kepala negara asing langsung menelepon beliau dan meminta beliau untuk menarik dukungannya tersebut. Hasyim sengaja tidak menyebutkan siapa saja tujuh kepala negara asing itu, akan tetapi di harian Republika beliau menegaskan bahwa beliau melihat adanya konspirasi global untuk menghadang disahkannya RUU tersebut. Hayim sempat mengatakan, "Saya tidak habis pikir, wong moral bangsa ini hendak diselamatkan koq mereka menghalangi."
Sebenarnya tidak sedikit para ulama dan intelektual Mesir yang mengingatkan Qasim Amin akan bahaya pemikirannya ini. Di antara mereka adalah seorang ekonom Mesir yang sangat terkenal yaitu Muhammad Thal'at dalam bukunya Fashlul Khithab fi al-Mar'ah wal Hijab, beliau berkata dalam bukunya itu bahwa menang-galkan hijab dan berbaur antara laki-laki dan wanita keduanya merupakan dambaan Eropa bagi dunia Islam. Eropa memang menginginkan agar wanita-wanita muslimah di Timur mengikuti jejak wanita-wanita  di Barat.
Begitu juga Muhammad Farid Wajdi telah membantah anggapan Qasim Amin bahwa hijab merupakan sebab keterbelakangan masyarakat Islam. Wajdi menulis buku al-Mar'ah al-Muslimah sebagai tanggapan atas buku Tahrirul Mar'ah. Hasan al-Banna juga menulis sebuah makalah yang berjudul "Jika ini benar wahai doktor.." sebagai respon terhadap Qasim Amin.
Demikian juga Husain ar-Rifa'i, Mushthafa al-Ghalayani, Syaikh Musthafa Shabri, Abdurrahman al-Himshi dan sederetan ulama lainnya, mereka semua telah menulis buku yang mengingatkan kaum muslimin akan bahaya seruan Qasim Amin. Akan tetapi Qasim Amin tidak bergeming dari sikapnya. Setahun berikutnya bahkan ia mengeluarkan sebuah buku yang berjudul al-Mar'ah al-jadidah (Wanita Baru) yang isinya mengajak kaum wanita Mesir untuk tidak segan-segan keluar dari rumah-rumah mereka dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial termasuk bekerja (mencari nafkah). Cuma bedanya, jika dalam bukunya Tahrirul Mar'ah Qasim Amin masih mengutip ayat-ayat al-Qur'an dan menegaskan bahwa apa yang ia serukan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka dalam bukunya yang baru ini yaitu al-Mar'ah al-jadidah, ia sama sekali tidak mengutip ayat al-Qur'an, perkataan para ulama Islam atau membawa nama-nama Islam, akan tetapi murni berargumen dengan perkataan para pemikir Barat.
Inilah yang seharusnya kita sadari bahwa musuh-musuh Islam sangat berkepen-tingan dengan rusaknya moral generasi muda Islam. Sebab ketika moral generasi muda Islam telah rusak maka dengan mudah Barat akan mendominasi dunia Islam. Dan salah satu sarana yang mereka tempuh ialah dengan menggiatkan pergaulan bebas, meniru tradisi-tradisi Barat yang merusak, dan menyebarkan free sex di kalangan para pemuda Islam. Mereka bekerja dengan setahap demi setahap dan tidak terburu-buru untuk melihat hasil. Oleh karena itu, cukuplah bagi kita peringatan Allah tentang hal ini:

"Dan Allah bermaksud menerima taubat kalian sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)" (QS. an-Nisaa'; 27).


DAFTAR PUSTAKA


 

Abu Zaid, Bakar bin Abdullah, 2003, Menjaga Kehormatan, Jakarta: Yayasan al-Sofwa.
Al-Juhaniy, 1418 H, Maani' bin Hammad, al-Mausu'ah al-Muyasarah fii al-Adyaani wa al-Madzaahib wa al-Ahzaab al-Mua'aashirah, Riyadh: Dar an-Nadwah al-'Alamiyah.
An-Naashir, Muhammad Hamid, 2001, al-'Ashraaniyyun, Baina Mazaa'im at-Tajdiid wa Mayaadiin at-Taghriib, Riyadh: Maktabah al-Kautsar.
Quthb, Muhammad, Qadhiyyatu Tahrirul Mar'ah, Riyadh: al-Maktabah asy-Syamilah.
Shalih, Sa'duddin As-Sayyid, 2000, Upaya Musuh Menghancurkan Islam Melalui Keluarga, Bandung: Irsyad Baitus Salam.

Website:
www. Wikipedia. Com.
www. Islamonline. Net.
www. darul-ulum.blogspot.com



[1]  http://darul-ulum.blogspot.com/2007/06/qasim-amin-1863-1908-bapak-feminisme.html


[2] Lihat: Dr. Maani' bin Hammad Al-Juhaniy, al-Mausuu'ah al-Muyassarah fii al-Adyaan wa al-Madzaahib wa al-Ahzaab al-Muaa'shirah, Dar an-Nadwah al-'Alamiyah, Riyadh, 1418, jilid 1, hlm. 457-461.
  
[4] Muhammad Imaroh, al-A'maal al-Kaamilah li Muhammad Abduh, jild 1, hlm. 252, dinukil dari: Muhammad Hamid an-Nashir, al-'Ashraaniyyun, Maktabah al-Kautsar, Riyadh, 2001, hlm. 70.
[5] Muhammad Quthb, Qadhiyyatu Tahrir al-Mar'ah, al-Maktabah asy-Syamilah, hlm. 1.
[6] Ibid.
.[7] Muhammad Quthb, Qadhiyyatu Tahrir al-Mar'ah, al-Maktabah asy-Syamilah, hlm. 3
[8] www. Wikipedia. Com.
[9]Muhammad Quthb, Qadhiyyatu Tahrir al-Mar'ah, al-Maktabah asy-Syamilah, hlm. 4  
[10]  Dr. Maani' bin Hammad Al-Juhaniy, al-Mausuu'ah al-Muyassarah fii al-Adyaan wa al-Madzaahib wa al-Ahzaab al-Muaa'shirah, Dar an-Nadwah al-'Alamiyah, Riyadh, 1418, jilid 1, hlm. 460.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar