QASIM AMIN
Penyeru Kebebasan Wanita
Biografi singkat Qasim Amin
Nama lengkapnya adalah Qasim Amin Bey, ia dilahirkan
di kota Iskandariyah (Mesir) pada awal bulan Desember 1863. Ayahnya bernama
Muhamad Beek Amin, berasal dari Turki (suku Kurdi) sedangkan ibunya berdarah
asli Mesir. Sejak kecil Qasim Amin memiliki bakat kecerdasan yang nampak dari
prestasi pendidikannya.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria
(Iskandariyah), keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia meraih gelar licance
dari Fakultas Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi tinggi di Mesir. Pada
waktu itu, Qasim Amin masih berumur 20 tahun, usia yang relatif masih sangat
muda. Padahal di Mesir ketika itu tidak jarang ditemui para pemuda yang baru
lulus dari Sekolah Dasar pada usia 25 tahun. Pada masa kuliahnya ia mulai kenal
dengan sosok Jamaluddin Al-Afghani dan pemikiran-pemikirannya yang memang sedang
berkembang di Mesir pada saat itu.
Dengan bekal gelar licance-nya ia bekerja
sebagai pengacara pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, seorang
pengacara besar pada saat itu yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan
orang tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim berkesempatan untuk
melanjutkan studi di Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. Pada masa
yang bersamaan, Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh diasingkan
dari Mesir dan kemudian keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim kembali
menjalin hubungan erat dengan Al-Afghani dan juga menjadi penerjemah pribadi
bagi Muhammad Abduh.
Selayaknya orang asing di kota Paris, ia berusaha
untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. Namun karena
memiliki kepribadian yang mencirikan kepribadian bangsa Timur yaitu pemalu dan
tertutup, serta adanya perbedaan yang sangat jauh antara budaya Perancis dan
Mesir, maka ia tidak bisa bergaul dan berinter-aksi dengan bebas dan leluasa.
Namun sebagaimana lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di Barat, Qasim
Amien juga memiliki teman perempuan yang istimewa di kampusnya. Dari
kebersamaannya yang intim dengan gadis Perancis tadi, mulailah tumbuh ide-ide
emansipasi wanita yang ingin diperjuangkannya di Mesir. Ia melihat para wanita
di Barat demikian bebas menikmati semua hak-haknya dan sangat mandiri, baik
secara sosial maupun ekonomi. Jika seorang gadis telah menginjak usia 17 tahun
maka ia bebas sepenuhnya untuk mengatur dirinya.
Sekembalinya dari Paris pada tahun 1885, ia
diangkat menjadi hakim. Kariernya
sebagai seorang hakim semakin meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat men-jadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir.
sebagai seorang hakim semakin meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat men-jadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir.
Tahun 1894, Qasim menikah dengan seorang gadis
pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amien Taufiq. Dan
pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis, karya pertamanya
ialah “Al-Mishriyyûn” (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa
Perancis. Buku ini merupakan counter terhadap tulisan seorang pemikir
Perancis, Duc D’harcouri, yang mengecam realitas sosio-kultural masyarakat
Mesir.
Karya-karyanya
Di samping berprofesi sebagai pengacara Qasim Amin juga menulis
beberapa buku yaitu:
1.
Al-Mishriyyûn (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis.
2.
Tahrirul
Mar'ah (Pembebasan Wanita), diterbitkan pada tahun
1899 M dengan dukungan dari Syeikh Muhammad Abduh, Sa'ad Zaqhlul dan Ahmad
Luthfi As-Sayyid. Dia menyebutkan dalam buku tersebut bahwa hijab wanita yang
tersebar di Mesir pada masa itu bukanlah berasal dari ajaran Islam, akan tetapi
tradisi yang diwarisi oleh orang-orang Mesir secara turun menurun yang kemudian dinisbatkan kepada
agama, padahal agama sama sekali tidak pernah memerintahkan hal itu. Ia
menegaskan bahwa seruan untuk melepas hijab tidaklah berarti mengingkari perin-tah
agama. Kerajaan Inggris menyambut baik terbitnya buku ini dan menerjemah-kannya
kedalam bahasa Inggris serta menyebarkannya di India serta daerah-daerah Islam
yang berada di bawah jajahan Inggris.
3. al-Mar'ah
al-Jadidah (Wanita Baru),
terbit pada tahun 1900 M. Buku ini mengan-dung pemikiran yang sama dengan buku
pertamanya, hanya saja dalam bukunya yang kedua ini ia banyak menukil perkataan
para pemikir Barat untuk menguatkan argumentasinya.
Pandangan Qasim Amin Tentang Wanita
Qasim Amin memandang kemunduran umat Islam
terletak pada lemahnya pember-dayaan kaum perempuan. Dalam Islam seakan-akan
ada diskriminasi antara kaum laki-laki dan kaum perempuan sehingga derajat kaum
laki-laki cenderung berada di atas derajat kaum perempuan. Menurut Qasim,
pendapat itu tidaklah benar, karena kaum perempuan-lah yang berperan penting
dalam kehidupan dan mereka patut untuk diber-dayakan, paling tidak disejajarkan
dengan kaum laki-laki. [1]
Jalan menuju kebangkitan menurutnya adalah dengan
ilmu pengetahuan, oleh kare-na itu Eropa terus bergerak maju menuju masyarakat
yang sempurna. Bagi Qasim Amin, Eropa adalah idola dalam semua hal. Qasim Amin
menulis, “Jika ada orang yang berkata bahwa Eropa maju secara material
sedangkan kita secara moral lebih baik, pernyataan ini sama sekali tidak benar.
Secara moral orang-orang Eropa lebih maju dan dalam semua aspek kehidupannya lebih
unggul, termasuk di dalamnya tentang kebebasan wanitanya.”
Pokok-pokok pikiran tersebut telah memberikan
inspirasi pada Qasim Amin, sehing-ga pada tahun 1899 ia menulis buku terkenal
yang diberi judul ”Tahrir al Mar’ah“ atau “Pembebasan Wanita”. Ada sedikit
perbedaan pandangan antara Qasim Amin dengan gurunya (Muhammad Abduh) mengenai
penyebab kemajuan kaum wanita. Qasim Amin mengidolakan kehidupan Eropa dalam segala
hal, termasuk kebebasan kaum wanitanya harus ditiru kalau kita ingin maju. Sedangkan
Muhammad Abduh meman-dang bahwa wanita Islam sebenarnya memiliki kedudukan
tinggi, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam-lah yang mengubah hal
itu, sehingga akhirnya wanita Islam mempunyai kedudukan yang rendah dalam
masyarakat.
Adapun pandangan Qasim Amin mengenai peran wanita,
ia berpendapat bahwa umat Islam mundur karena kaum wanitanya yang merupakan
setengah dari penduduk-nya tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah. Padahal dalam
Islam tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan
ilmu pengetahuan. Dari sini Qasim Amin melihat pentingnya kaum wanita belajar
di sekolah-sekolah sampai jenjang perguruan tinggi dan menangani urusan-urusan
sosial-ekonomi sebagaimana kaum laki-laki. Qasim Amin juga menentang pilihan
sepihak dalam soal rumah tangga seperti dalam hal poligami dan perceraian.
Menurut pendapatnya wanita harus diberi hak yang sama dengan pria dalam hal memilih
pasangan hidupnya. Sesungguhnya al-Qur’an, pada hakekatnya mengajarkan
monogami. Menurutnya, sistem perkawinan pada saat ini yang bagi pria dapat
memiliki wanita dengan pilihan sepihak dan hanya dihadiri oleh dua orang saksi saja
adalah pendapat yang keliru dan merendahkan kedudukan wanita. Begitupun
poligami, ia adalah wujud penghinaan terhadap wanita, karena tidak ada wanita
yang ingin dimadu, sebagaimananya tidak adanya laki-laki senang bila istrinya diganggu.
Hal ini merupakan tabiat bagi pria dan wanita. Firman Allah Ta’ala dalam surat
An-Nisa’: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS. an-Nisaa'; 129), sebenarnya menunjukkan
adanya larangan berpoligami, karena tidak ada kemungkinan bagi pria untuk bisa berlaku
adil, meskipun dilakukan dengan susah payah. Oleh karena itu, poligami bisa
dilakukan apabila ada persetujuan dari pihak istri. Tanpa alasan ini tidak
dibenarkan secara mutlak.
Disisi lain talak (perceraian)
adalah suatu yang dihalalkan, tetapi sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu
Qasim Amin mensyaratkan hendaknya prosedur tentang talak dipersulit agar si
suami tidak sekehendak hatinya menjatuhkan talak, serta menganjur-kan agar adanya saksi dapat
dijadikan sebagai rukun talak.
Ide Qasim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di
zamannya adalah bahwa hijab bagi muslimah dan pemisahan antara wanita dan pria dalam
pergaulan bukan dari ajaran Islam. Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadist
yang mengajarkan demikian. Menurutnya, berhijab bagi wanita dan pemisahan
membaur telah membawa wanita kepada kedudukan yang rendah dan menghambat
pengembangan potensi mereka. Demikianlah beberapa pemikiran Qasim Amin yang
cukup nyeleneh. [2]
Dari berbagai
pihak datang kritik dan protes terhadap ide-ide yang dikemukakan oleh Qasim
Amin. Demikian dahsyatnya reaksi dari masyarakat Mesir ketika itu hingga Qasim
pun merasa pesimis bahwa idenya akan dapat diterima. Ia pun mengurung diri
selama berhari-hari di rumahnya dan bertekad untuk tidak membahas lagi tema
ini. Akan tetapi Sa'ad Zaghlul, salah seorang petinggi Mesir ketika itu, memberikan
support-nya kepada Qasim Amin seraya berkata, "Teruslah engkau
melaju, aku akan senantiasa berdiri di sampingmu." Dukungan ini
mengembalikan lagi rasa percaya diri Qasim dan tak lama setelah itu ia pun
menuliskan kembali ide-idenya yang kemudian muncul menjadi al-Mar’ah al-Jadidah
atau Wanita Modern, terbit pada tahun 1901 isinya menyerang hijab dan gambaran
tentang potret kehidupan rumah tangga muslim pada masa kegelapan. Qasim Amin
menulis :
“Lelaki adalah penguasa mutlak, sedangkan
wanita jadi budak. Ia adalah obyek kepuasan hawa nafsu, barang mainan yang
dipakai kapan saja menurut kemauannya. Ilmu untuk pria, wanita tak berhak
apapun. Cakrawala dan caha-ya untuk lelaki, kegelapan dan kamar terkunci untuk
wanita. Lelaki adalah komandan, sedangkan wanita harus tunduk tanpa syarat.
Lelaki memiliki segalanya, sementara wanita menjadi barang yang tidak berarti.“
Qasim Amin juga
menerangkan bahwa pembaruan rumah tangga muslim haruslah meniru gaya Barat,
karena ini adalah solusi untuk mengentaskan problem sosial di Dunia Islam.
Qasim Amin menulis:
“Lihatlah negara-negara Timur, engkau akan
menemukan wanita-wanita di sana menjadi budak lelaki, lelaki adalah penguasa,
lelaki adalah penindas di rumahnya, wanita dibelenggu bila tinggal di luar
rumah. Kemudian lihatlah negara-negara Barat, pemerintahan berjalan di atas dasar kebebasan dan meng-hormati hak-hak individu
serta status wanita dijunjung tinggi dan mendapat-kan kebebasan berfikir dan
bergerak”
Pada intinya dalam buku tersebut, Qasim Amin mempertahankan ide-idenya serta memperjuangkan
kebebasan wanita agar bergaya hidup
sebagaimana wanita-wanita di Barat yang telah memperoleh kebebasan dan hak-haknya
secara penuh.[3]
Keterkaitan Qasim Amin dengan madrasah
ishlahiyyah (gerakan reformasi)
Pada masa dunia Islam sedang dijajah oleh
negara-negara Barat, muncullah Syaikh Muhammad Abduh di Mesir dengan gerakannya
yang dikenal dengan sebutan ishlahiyyah (reformasi). Beliau melontarkan
beberapa ijtihad pembaruan dan perbaikan. Di antara permasalahan yang diangkat
oleh Muhammad Abduh adalah: pembahasan
seputar nasionalisme, kebebasan dan seruan untuk meninjau ulang kondisi
kaum wanita secara sosial. Juga meninjau ulang tentang hijab dan poligami serta
pembatasan kebebasan menjatuhkan talak.
Di antara murid-murid Syaikh Muhammad Abduh adalah
Qasim Amin. Sebenarnya beberapa hal yang dibahas oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrirul
Mar'ah telah disuarakan sebelumnya oleh Muhammad Abduh. Oleh karena itu,
Muhammad Imaroh berkata, "Sebagian peneliti berpendapat bahwa Syaikh
Muhammad Abduh berada di belakang Qasim Amin dalam bukunya Tahrirul Mar'ah.
Sebenarnya buku tersebut merupakan karya bersama antara Syaikh Muhammad Abduh
dan Qasim Amin. [4]
Kritik atas pemikiran Qasim Amin
Sebelum kepergiannya ke Perancis, Qasim Amin telah membaca sebuah
tulisan seorang orientalis Barat yang menghujat Islam dan mengklaim bahwa agama
ini telah meremehkan kaum wanitanya dan tidak mengakui eksistensi mereka
sebagai manusia. Ketika membaca tulisan itu, darahnya mendidih –sebagaimana yang
ia tulis di buku hariannya- dan ia pun bertekad untuk meng-counter sang
orientalis tersebut serta membantah tuduhan-tuduhan miringnya terhadap Islam.[5]
Akan tetapi, setelah mengenyam pendidikan selama empat tahun di
Perancis, ia pulang dengan membawa pemikiran yang sangat berbeda dengan apa
yang ia anut sebelumnya. Perantauannya selama di Perancis pada usia yang sangat
relatif muda –yakni 20 tahun- telah meninggalkan bekas yang sangat mendalam
pada kepribadiannya. Kini ia kembali ke Mesir dengan membawa gagasan dan
pemikiran baru. Ia kembali dengan menyerukan kebebasan wanita dan emansipasi
sebagaimana yang diinginkan oleh para orientalis.
Ia menulis dalam buku hariannya bahwa di Perancis ia bertemu dengan
seorang gadis Perancis yang kemudian menjadi kawan akrabnya. Antara dia dan
gadis itu terjalin hubungan emosional yang kuat dan intim, akan tetapi bersih.
Gadis itulah yang menemani Qasim mengunjungi rumah-rumah keluarga Perancis,
tempat-tempat perte-muan dan klub-klub mereka. Dengan pendampingan wanita itu,
Qasim mendapatkan sambutan hangat di setiap tempat yang dikunjunginya.[6]
Terlepas apakah Qasim yang menemui wanita itu ataukah ia sengaja
dipasang untuk menjadi partner Qasim, yang jelas wanita itu telah mempengaruhi
akal dan hati Qasim. Bahkan hingga merubah jalan hidupnya dan membuatnya layak
untuk memainkan peran yang diinginkan oleh konferensi-konferensi para missionaris
yang bermaksud menghancurkan Islam.
Sangat boleh jadi bahwa hubungan antara Qasim dengan gadis Perancis itu
memang benar-benar bersih. Tentu saja bersih bukan menurut sudut pandang
Islami, akan tetapi bersih dalam artian tidak sampai terjerumus dalam suatu
perbuatan mesum. Hal ini sangat mungkin dan logis sekali sebab wanita yang
tetap menjaga harga dirinya akan lebih mampu mempengaruhi jalan pikiran Qasim.
Sebaliknya, jika gadis itu sampai menjual murah kehormatannya tentu wibawanya
akan jatuh di mata Qasim sehingga tidak akan mampu lagi memberikan pengaruh
terhadapnya.
Ketika menginjakkan kakinya di bumi Perancis, Qasim merasa negerinya
sangat tertinggal jika dibandingkan dengan Perancis. Apalagi ketika itu Mesir
masih berada di bawah jajahan Inggris. Belum merdeka dan masih terpuruk
kondisinya. Sementara ia banyak mendengar dari kaumnya bahwa Eropa adalah
kawasan yang sangat makmur, maju dan modern. Wajar sekali jika ia melihat
Perancis dan peradabannya dengan pandangan yang penuh dengan kekaguman dan
takjub. Sebagai orang Timur dan penda-tang baru Qasim merasakan adanya gap
psikologis antara dirinya dengan masyarakat Perancis. Ditambah lagi dengan
tabiat orang Timur yang pemalu dan tertutup. Di negeri yang baru ini Qasim
seolah-olah terkucil dan dianggap kerdil oleh masyarakat Barat yang modern itu.
Dalam kondisi yang seperti ini datanglah gadis Perancis tersebut untuk
menghilang-kan keterasingannya, mengusir kesepiannya dan menuntunnya untuk
berinteraksi lebih luas dengan masyarakat Perancis. Kini ia mulai berkenalan
dengan keluarga-keluarga Perancis yang menyambutnya dengan hangat, mendatangi
klub-klub pertemuan mereka dan benar-benar berbaur dengan mereka. Di sini
hilanglah gap psikologis antara dirinya dan masyarakat luar. Kini ia melaju di
tengah-tengah masyarakat baru itu dengan penuh rasa percaya diri dan dengan
langkah-langkah yang mantap.
Kepribadiannya yang tadinya tertutup dan pemalu kini telah berubah
secara berang-sur-angsur. Pemuda Mesir yang tadinya terkucil di masyarakat yang
baru itu kini telah berkembang secara kejiwaan dan wawasannya. Kini ia mulai
merubah pandangannya yang negatif dan "salah" tentang tradisi Barat
yang dikenalnya selama ini. Ternyata tradisi Barat yang dulu banyak dikecamnya
itu kini telah memberikan nilai positif pada dirinya.
Melalui hubungan baiknya dengan gadis yang ramah tersebut kini jiwanya
telah berkembang dengan pesat, keluar dari keterkucilannya. Ia tak lagi
bagaikan katak dalam tempurung. Jiwanya telah memperoleh pencerahan, semangat
baru, diiringi dengan tsaqofah-nya yang makin meluas dan gairahnya yang
semakin enerjik.
Jika demikian halnya, lalu apa kesalahan tradisi ini? Tradisi yang banyak
memberi-kan nilai positif dalam kehidupan. Apa salahnya jika masyarakat Mesir
yang mayoritas muslim itu mengikuti tradisi Barat? Bukankah ini berarti suatu
kemajuan?
Secara sekilas logika tadi tampaknya benar. Akan tetapi sebenarnya ada
beberapa kerancuan nyata pada logika tersebut.
Pertama: Qasim Amin mengklaim bahwa
hubungannya dengan wanita Perancis itu adalah hubungan yang bersih, dalam arti
tidak sampai menjurus kepada perbuatan keji (fahisyah). Kendatipun kita
membenarkan pernyataannya, akan tetapi hubungan tersebut tidaklah bersih
menurut timbangan Islam. Padahal setiap muslim dituntut untuk menimbang seluruh
urusannya dengan timbangan Islam tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan
Qasim Amin dengan wanita itu mengandung unsur kholwat (berduaan dengan
lawan jenis yang bukan mahrom) yang hal ini diharamkan dalam Islam, baik ia
menjurus pada perbuatan keji atau tidak.
Kholwat tersebut diharamkan dalam agama Allah
karena suatu hikmah yang jelas yaitu ia akan mengantarkan pelakunya kepada
perbuatan keji, meskipun pada awalnya tidak sampai ke sana. Sejarah umat
manusia telah membuktikan bahwa tidaklah kholwat ini dibolehkan pada
suatu bangsa melainkan pada akhirnya akan mengantarkan bangsa tersebut pada
perbuatan keji. Tidak ada satu bangsa pun yang dikecualikan dalam hal ini.
Jika kita mengamati data-data yang diungkap oleh berbagai penelitian
tentang penyimpangan-penyimpangan seksual yang terjadi di negara-negara maju
kita akan terperanjat dengan tingginya angka-angka kejahatan seksual tersebut.
Berbagai macam kejahatan dan penyimpangan seksual tersebut tidak lain adalah
dampak negatif dari dibolehkannya kholwat.
Kedua, Qasim Amin berusaha menutupi atau
berpura-pura tidak tahu tentang realitas yang terjadi di masyarakat Perancis
sebagai dampak dari hubungan bebas antara pria dan wanita. Padahal ia pasti tahu
persis bahwa masyarakat di sana sedang dilanda krisis moral. Kalaulah kita
membenarkan bahwa hubungan antara Qasim Amin dengan gadis Perancis itu bersih,
akan tetapi berapa banyak hubungan tidak bersih yang terjadi antara pemuda dan
pemudinya? Hal ini bukanlah rahasia lagi bagi siapa saja yang tinggal di
masyarakat tersebut, baik ia warga negara asli ataupun pendatang. Dengan
demikian Qasim menampakkan salah satu sisi keunggulan masyarakat Barat akan
tetapi menyembunyikan sisi-sisi kebobrokan moral mereka.
Ketiga: Yang diinginkan oleh Qasim Amin adalah
agar wanita-wanita muslimah Mesir mengikuti jejak wanita-wanita Barat dalam
segala hal. Menurutnya, tidak ada jalan bagi kaum muslimah Mesir yang ingin
maju kecuali dengan meniti jalan yang pernah ditempuh oleh para wanita di
Barat. Qasim Amin berkata, "Kita tidak melihat adanya suatu penghalang
untuk menempuh jalan yang pernah ditempuh sebelumnya oleh bangsa-bangsa Barat
karena kita semua menyaksikan bahwa mereka maju dalam peradabannya, hari demi
hari."
Ia juga berkata, "Kesimpulannya, kita tidak segan-segan untuk
mengatakan tentang wajibnya memberikan kebebasan berpikir dan bekerja bagi
wanita-wanita kita –setelah mencerdaskan akal-akal mereka dengan pendidikan- meskipun
tidak bisa dihindari bahwa mereka mesti melewati semua tahapan-tahapan yang
pernah dilewati dan sedang dilewati oleh para wanita di Barat." [7]
Ini artinya Qasim Amin menyerukan bagi wanita-wanita muslimah yang
ingin maju agar bertaqlid kepada wanita-wanita Barat meskipun resikonya harus
melewati semua tahapan-tahapan yang pernah dilewati dan sedang dilewati oleh
para wanita di Barat. Di antara tahapan-tahapan itu tentunya adalah membaurnya
kaum wanita dengan kaum laki-laki di semua lapangan pekerjaan dan dibolehkannya
pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi.
Hak pendidikan bagi kaum
wanita
Di antara jargon (slogan) yang paling sering diangkat oleh Qasim Amin
dalam tulisan-tulisannya ialah perlunya memberikan hak pendidikan bagi kaum
wanita. Mereka harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam
pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Jargon ini tentu sangat menjual
dan menarik sekali. Terlebih lagi kondisi pendidikan wanita muslimah di Mesir
ketika itu memang tidak baik. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi
pendidikan wanita di Mesir ketika itu -dan juga di seluruh dunia Islam- sangat
tidak baik. Tetapi ini sebenarnya adalah ekses dari pemahaman umat Islam yang
keliru tentang Islam. Oleh karena itu, untuk membenahi permasalahan ini
haruslah dari pangkal penyebabnya yaitu mengembalikan umat Islam kepada pemahaman
Islam yang shahih.
Tentang pendidikan bagi wanita, sebenarnya Islam mengakui hak ini dan
tidak pernah mencegah kaum muslimah untuk mendapatkan haknya ini. Bahkan Islam
memotivasi semua umatnya –baik laki-laki maupun wanita- untuk menuntut
ilmu-ilmu yang bermanfaat. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pernah
mengkhususkan satu hari untuk memberikan pengajaran bagi kaum wanita.
Namun yang sangat disayangkan adalah, tidak sedikit para tokoh anti
pembaratan di Mesir ketika itu yang menyanggah Qasim Amin dengan mengatakan
bahwa wanita tidak layak untuk sekolah sampai perguruan tinggi karena hal itu
akan menunda usia pernikahan mereka sampai beberapa tahun. Kemudian, kalaupun
mereka menikah di saat kuliah maka itu akan mengakibatkan urusan rumah tangga
dan anak-anak mereka terlantar dan kurang perhatian –padahal itu adalah tugas
utama seorang wanita-.
Kalau kita cermati, mereka yang berjuang di kubu anti pembaratan itu
berdalih dengan alasan agama. Muhammad Quthb pernah menganalisa hal ini yang
intinya, seandainya masyarakat Mesir ketika itu disinari oleh pemahaman Islam
yang benar maka tidak mungkin seruan Qasim Amin itu akan mendapatkan tempat,
dan tidak mungkin serangan pemikiran (ghazwul fikri) –betapapun
derasnya- akan bisa menggoyang sendi-sendi kehidupan masyarakat muslim.
Akan tetapi yang terjadi di Mesir ketika itu adalah keterpurukan aqidah
yang di antara eksesnya adalah pengabaian hak-hak kaum wanita. Pemahaman Islam
yang benar tidak mewarnai masyarakat. Yang mewarnai mereka adalah tradisi yang
diberi shibghoh (warna) agama. Di tengah-tengah kebodohan umat inilah
seruan Qasim Amin dan para pendukungnya digaungkan. Mereka memanfaatkan dengan
baik kondisi para wanita yang memang kurang diperhatikan ketika itu. Maka tidak
dapat dielakkan, masyarakat yang dikendalikan oleh tradisi tidak akan mampu
membendung gempuran ghazwul fikri yang demikian deras itu.
Sikap yang diajarkan oleh Islam adalah, kaum wanita harus dipenuhi
hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi mereka, akan tetapi
tanpa harus menanggalkan hijabnya atau berbaur dengan lelaki. Adalah suatu fardhu
kifayah bagi umat Islam untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang khusus
bagi mereka. Dengan demikian mereka mendapatkan hak-haknya secara penuh tanpah
harus melewati tahapan yang berupa kerusakan akhlak.
Tidak ada satupun nash tentang
hijab?
Dalam bukunya, Tahrirul Mar'ah, Qasim Amin menulis,
"Seandainya dalam syari'at Islam ada nash-nash yang mewajibkan hijab
sebagaimana yang dikenal sekarang ini, tentulah wajib bagi saya untuk tidak
membahas lagi tentang hal ini, dan tentulah saya tidak akan menulis satu huruf
pun yang menyelisihi nash-nash tersebut, meskipun nampak jelas kemudharatannya.
Hal ini karena perintah-perintah Ilahi wajib dijunjung tinggi dan dipatuhi
tanpa perlu dibahas atau didiskusikan lagi. Akan tetapi kita tidak mendapati
satu pun nash dalam syari'at yang mewajibkan bagi wanita untuk berhijab
sebagaimana yang dikenal pada zaman sekarang ini. Ia hanyalah tradisi yang
didapat oleh kaum muslimin dari hasil interaksi mereka dengan bangsa-bangsa
lain lalu mereka anggap baik dan mereka ambil. Kemudian, mereka
berlebih-lebihan dalam hal ini dan mengemasnya kemasan agama, sebagaimana
tradisi-tradisi usang lainnya yang telah berakar di masyarakat. Mereka
menisbatkan tradisi-tradisi tersebut kepada agama padahal agama berlepas diri
darinya. Yang termaktub dalam al-Qur'an yang mulia ialah firman Allah:
"Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pan-dangannya,
dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat'.Dan kata-kanlah
kepada wanita-wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandang-annya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS.
an-Nuur: 30-31). Demikianlah yang ditulis oleh Qasim Amin dalam
bukunya Tahrirul Mar'ah. [8]
Apakah benar di dalam syari'at Islam tidak terdapat satupun nash
tentang perintah berhijab bagi wanita-wanita muslimah? Kalau kita hendak
meneliti kitab suci al-Qur'an dengan seksama maka akan kita dapati di dalamnya
beberapa ayat-ayat yang mulia yang berbicara tentang hijab. Seperti dalam surat
al-Ahzab ayat: 59.
"Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, 'Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Ahzab: 59).
Juga
firman-Nya dalam surat yang sama:
'Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah- rumah Nabi kecuali
bila kalian diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kalian diundang maka masuklah dan bila selesai makan
maka keluarlah tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian
itu mengganggu Nabi akan tetapi beliau malu kepada kalian (untuk menyuruh kalian
keluar), sedangkan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.Dan apabila kalian
meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah
dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati
mereka." (QS. al-Ahzab: 53).
Juga
firman-Nya dalam surat yang sama:
"Dan
hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait dan
membersihkan kalian sebersih-bersihnya." (QS.
al-Ahzab: 33).
Termasuk nash yang mewajibkan berhijab bagi wanita muslimah adalah ayat
yang memberikan rukhshah (keringanan) bagi wanita-wanita yang telah menopause
(terhenti dari haid karena usia tuanya) untuk menanggalkan hijabnya selama
tidak bermasksud untuk tabarruj (menampakkan perhiasan tubuhnya). Allah berfirman:
"Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada berharap untuk menikah lagi, tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasannya. Dan berlaku
sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana. " (QS. an-Nuur: 60).
Di dalam terjemah al-Qur'an yang
diterbitkan oleh Departemen Agama diberikan catatan kaki bahwa yang dimaksud
dengan menanggalkan pakaian dalam ayat di atas adalah pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan
aurat.
Jika rukhshah tersebut berlaku
untuk wanita-wanita yang telah mencapai usia lanjut, maka untuk wanita-wanita
yang belum mencapai usia tersebut tetap berlaku kewajiban mengenakan hijab.
Itulah beberapa nash-nash suci yang terdapat
di dalam al-Qur'an yang mulia tentang keharusan berhijab bagi wanita-wanita
muslimah. Adapun nash-nash hadits tentang hal ini jauh lebih banyak lagi, akan
tetapi sengaja tidak saya kutipkan di sini agar tidak mempertebal risalah ini.
Larangan berbaur antara kaum
laki-laki dan wanita (ikhtilath)
Qasim Amin berpendat bahwa pemisahan antara wanita dan pria bukanlah
termasuk salah satu prinsip Islam. Ia juga menyerukan kebebasan wanita untuk
berkiprah di tengah-tengah masyarakat
dan mengambil peranan dalam semua bidang kehidupan.
Pada malam menjelang wafatnya, Qasim menerima kunjungan para mahasiswa
dan mahasiswi Rumania yang sedang melakukan kunjungan persahabatan ke Mesir.
Qasim menyampaikan ucapan sambutan kepada mereka dengan bahasa Perancis,
"Saya mengucapkan selamat kepada rombongan wisata ilmiah ini dan saya
berterima kasih atas kunjungan mereka ke Mesir. Secara khusus saya ucapkan
selamat kepada para mahasiswi yang telah bersusah payah menempuh perjalanan
yang jauh dari Barat ke Timur, mengatasi semua rintangan dalam perjalanan, dalam
rangka menambah ilmu dan wawasan. Saya memberikan penghormatan kepada mereka
secara khusus sementara hati saya dipenuhi dengan rasa gembira ketika melihat
peran mereka tidak kalah dari peran para rekan-rekan mereka para mahasiswa. Saya
mengucapkan selamat kepada mereka (para mahasiswi) sementara dalam diri saya
ada kerinduan yang kuat untuk pada suatu hari saya melihat para gadis muslimah
Mesir memperoleh nasib yang sama dengan para mahasiswi yang telah melancong
dari tempat yang jauh ini. Yaitu suatu hari di mana para muslimah terlihat duduk berdampingan dengan para pemuda Mesir
dalam suatu pertemuan ilmiah seperti sekarang ini." [9]
Kita tidaklah mengingkari hak-hak para wanita untuk mendapatkan
pengajaran dan pendidikan. Bahkan kita sangat mendukung hal itu. Akan tetapi
kenapa mesti duduk berdampingan dengan para pemuda? Apakah tidak ada solusi
lain selain itu? Apakah kita harus meniru model pendidikan yang ada di Eropa
secara huruf per huruf ?
Islam sebagai agama yang paripurna dan sistem hidup yang syamil telah
memiliki konsep yang sempurna dan jauh lebih hebat daripada konsep Barat. Akan
tetapi kehebatan konsep Islam itu tidak terlihat secara realitas pada zaman ini
karena memang ia belum diterapkan. Salah satu cara yang ditempuh oleh syaria'at
Islam untuk memelihara masyarakat dari kerusakan akhlak adalah dengan membuat
batas (jarak) antara kaum laki-laki dengan wanita. Allah yang telah menciptakan
manusia Dia lebih tahu tentang aturan apa yang akan membawa kemaslahatan bagi
para hamba-Nya.
Sebagai suatu tindakan preventif (saddu adz-dzaraai'), syari'at
melarang pembauran antara laki-laki dan wanita. Karena hal ini akan menimbulkan
fitnah dan kerusakan yang besar.
Kita dapati dalam petunjuk sunnah Nabi shallallohu alaihi wasallam yang mulia
bahwa pemisahan itu hendaknya dilakukan meskipun antara dua saudara kandung
kakak beradik. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى
الْمَضَاجِعِ
"Perintahkanlah anak-anak kalian untuk
shalat ketika mereka sudah berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika
meninggalkannya setelah mereka berumur sepuluh tahun serta pisahkanlah tempat
tidur antara mereka." (HR. Abu Dawud).
Juga
pemisahan itu dilakukan di tempat yang suci, di rumah-rumah Allah, di saat
melaksanakan ibadah yang agung. Dalam hal ini Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda:
خَيْرُ
صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ
آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
"Sebaik-baik shaf laki-laki adalah
yang paling depan dan seburuk-buruk shaf mereka adalah yang paling belakang,
sedangkan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan
seburuk-buruk shaf mereka adalah yang paling depan." (HR. Muslim, Tirmidzi dan
Nasa'i).
Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam juga mengkhususkan sebuah pintu di masjid untuk para
wanita.
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( لَوْ تَرَكْنَا هَذَا الْبَابَ لِلنِّسَاءِ
)) قَالَ نَافِعٌ: فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ ابْنُ عُمَرَ حَتَّى مَاتَ.
Dari Nafi’, dari
‘Abdulloh bin ‘Umar rd ia berkata:
Rosululloh shallallohu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Kalau saja kita jadikan
pintu ini khusus untuk kaum wanita”. Nafi’ berkata: ‘Sejak saat itu Ibnu ‘Umar
tidak lagi masuk lewat pintu itu hingga beliau wafat’.” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan).
Demikian
Islam memang mengajarkan pemisahan antara kaum laki-laki dan wanita dalam
rangka menghindari timbulnya pergaulan bebas dan perbuatan asusila. Tetapi hal
ini sama sekali bukan bermaksud untuk merendahkan kaum wanita atau mengucilkan
mereka dari pergaulan bermasyarakat.
Nuansa
Ghazwul Fikri dalam buku Tahrirul Mar'ah
Ketika buku Tahrirul
Mar'ah diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1899, Pemerintah
Inggris –yang ketika itu sedang menjajah Mesir- sangat menyambut baik atas
terbitnya buku ini dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris serta
mendistribusikannya di India dan semua wilayah negeri-negeri Islam yang berada
di bawah jajahan Inggris. [10]
Kalau kita
mau berpikir sedikit kritis tentu kita akan bertanya-tanya, mungkinkah Inggris
yang ketika itu sedang menjajah Mesir dan negeri-negeri Islam lainnya bermaksud
baik kepada umat Islam dengan mendistribusikan buku itu? Mungkinkah musuh
menghendaki kemajuan dan kekuatan bagi kita?
Peristiwa ini mengingatkan kita akan suatu
fenomena di negeri kita sendiri ketika sedang ramai-ramainya terjadi polemik
seputar RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Waktu itu KH. Hasyim Muzadi
sebagai ketua umum PBNU memberikan dukungannya terhadap RUU tersebut. Sehari
setelah beliau menyatakan dukungan-nya tujuh kepala negara asing langsung
menelepon beliau dan meminta beliau untuk menarik dukungannya tersebut. Hasyim
sengaja tidak menyebutkan siapa saja tujuh kepala negara asing itu, akan tetapi
di harian Republika beliau menegaskan bahwa beliau melihat adanya konspirasi
global untuk menghadang disahkannya RUU tersebut. Hayim sempat mengatakan,
"Saya tidak habis pikir, wong moral bangsa ini hendak diselamatkan koq
mereka menghalangi."
Sebenarnya tidak sedikit para ulama dan
intelektual Mesir yang mengingatkan Qasim Amin akan bahaya pemikirannya ini. Di
antara mereka adalah seorang ekonom Mesir yang sangat terkenal yaitu Muhammad
Thal'at dalam bukunya Fashlul Khithab fi al-Mar'ah wal Hijab, beliau
berkata dalam bukunya itu bahwa menang-galkan hijab dan berbaur antara
laki-laki dan wanita keduanya merupakan dambaan Eropa bagi dunia Islam. Eropa
memang menginginkan agar wanita-wanita muslimah di Timur mengikuti jejak wanita-wanita
di Barat.
Begitu juga Muhammad Farid Wajdi telah
membantah anggapan Qasim Amin bahwa hijab merupakan sebab keterbelakangan
masyarakat Islam. Wajdi menulis buku al-Mar'ah al-Muslimah sebagai
tanggapan atas buku Tahrirul Mar'ah. Hasan al-Banna juga menulis sebuah
makalah yang berjudul "Jika ini benar wahai doktor.." sebagai
respon terhadap Qasim Amin.
Demikian juga Husain ar-Rifa'i, Mushthafa
al-Ghalayani, Syaikh Musthafa Shabri, Abdurrahman al-Himshi dan sederetan ulama
lainnya, mereka semua telah menulis buku yang mengingatkan kaum muslimin akan
bahaya seruan Qasim Amin. Akan tetapi Qasim Amin tidak bergeming dari sikapnya.
Setahun berikutnya bahkan ia mengeluarkan sebuah buku yang berjudul al-Mar'ah
al-jadidah (Wanita Baru) yang isinya mengajak kaum wanita Mesir untuk tidak
segan-segan keluar dari rumah-rumah mereka dan aktif dalam berbagai kegiatan
sosial termasuk bekerja (mencari nafkah). Cuma bedanya, jika dalam bukunya Tahrirul
Mar'ah Qasim Amin masih mengutip ayat-ayat al-Qur'an dan menegaskan bahwa
apa yang ia serukan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka dalam
bukunya yang baru ini yaitu al-Mar'ah al-jadidah, ia sama sekali tidak
mengutip ayat al-Qur'an, perkataan para ulama Islam atau membawa nama-nama
Islam, akan tetapi murni berargumen dengan perkataan para pemikir Barat.
Inilah yang seharusnya kita sadari bahwa
musuh-musuh Islam sangat berkepen-tingan dengan rusaknya moral generasi muda
Islam. Sebab ketika moral generasi muda Islam telah rusak maka dengan mudah
Barat akan mendominasi dunia Islam. Dan salah satu sarana yang mereka tempuh
ialah dengan menggiatkan pergaulan bebas, meniru tradisi-tradisi Barat yang
merusak, dan menyebarkan free sex di kalangan para pemuda Islam. Mereka
bekerja dengan setahap demi setahap dan tidak terburu-buru untuk melihat hasil.
Oleh karena itu, cukuplah bagi kita peringatan Allah tentang hal ini:
"Dan Allah bermaksud
menerima taubat kalian sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya
bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)" (QS. an-Nisaa'; 27).
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zaid,
Bakar bin Abdullah, 2003, Menjaga Kehormatan, Jakarta: Yayasan al-Sofwa.
Al-Juhaniy,
1418 H, Maani' bin Hammad, al-Mausu'ah al-Muyasarah fii al-Adyaani wa
al-Madzaahib wa al-Ahzaab al-Mua'aashirah, Riyadh: Dar an-Nadwah
al-'Alamiyah.
An-Naashir,
Muhammad Hamid, 2001, al-'Ashraaniyyun, Baina Mazaa'im at-Tajdiid wa
Mayaadiin at-Taghriib, Riyadh: Maktabah al-Kautsar.
Quthb,
Muhammad, Qadhiyyatu Tahrirul Mar'ah, Riyadh: al-Maktabah asy-Syamilah.
Shalih,
Sa'duddin As-Sayyid, 2000, Upaya Musuh Menghancurkan Islam Melalui Keluarga,
Bandung: Irsyad Baitus Salam.
Website:
www.
Wikipedia. Com.
www.
Islamonline. Net.
www.
darul-ulum.blogspot.com
[1] http://darul-ulum.blogspot.com/2007/06/qasim-amin-1863-1908-bapak-feminisme.html
[2] Lihat: Dr. Maani' bin Hammad Al-Juhaniy, al-Mausuu'ah
al-Muyassarah fii al-Adyaan wa al-Madzaahib wa al-Ahzaab al-Muaa'shirah,
Dar an-Nadwah al-'Alamiyah, Riyadh, 1418, jilid 1, hlm. 457-461.
[3] http://meetabied.wordpress.com/2009/11/02/pandangan-qasim-amin-terhadap-emansipasi-wanita, oleh Sholeh Ahmad
[4] Muhammad Imaroh, al-A'maal al-Kaamilah li Muhammad Abduh, jild
1, hlm. 252, dinukil dari: Muhammad Hamid an-Nashir, al-'Ashraaniyyun,
Maktabah al-Kautsar, Riyadh, 2001, hlm. 70.
[10] Dr. Maani' bin Hammad Al-Juhaniy, al-Mausuu'ah
al-Muyassarah fii al-Adyaan wa al-Madzaahib wa al-Ahzaab al-Muaa'shirah,
Dar an-Nadwah al-'Alamiyah, Riyadh, 1418, jilid 1, hlm. 460.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar